Lampung – Depresi Diduga Pemicu Suasana tenang di atas kapal penumpang yang melintasi Selat Sunda menuju Pelabuhan Bakauheni, Lampung, mendadak berubah mencekam. Seorang penumpang pria, 30-an tahun, dilaporkan nekat meloncat ke laut tanpa alasan yang jelas.
Beberapa saksi melihatnya berdiri lama di sisi dek atas, memandang kosong ke laut. Lalu, dalam sekejap—ia melompat. Awak kapal panik. Alarm darurat dibunyikan. Operasi pencarian pun dilakukan dengan segera.
Diduga Alami Depresi Berat

Baca Juga : Tim Pencari Fakta Komnas HAM Cs Langsung Selidiki Demo Ricuh Agustus
Informasi dari kepolisian menyebutkan, pria tersebut berasal dari Jambi dan tengah melakukan perjalanan seorang diri menuju Pulau Jawa.
“Dari keterangan keluarga, korban belakangan menunjukkan tanda-tanda tekanan psikologis. Sering murung, menyendiri, dan bicara soal kegagalan hidup,” ungkap Kapolres setempat.
Hingga kini, motif pasti masih dalam penyelidikan. Namun kuat dugaan, depresi menjadi pemicu utama aksi nekat tersebut.
Pencarian Masih Dilakukan, Harapan Masih Ada
Tim SAR gabungan dari Basarnas Lampung, Polairud, dan relawan laut terus melakukan pencarian di sekitar lokasi kejadian. Arus laut yang kuat dan gelombang yang berubah-ubah menjadi tantangan tersendiri.
“Kami masih berharap korban bisa ditemukan dalam keadaan selamat. Saat ini area pencarian diperluas,” kata Komandan SAR Pos Bakauheni.
Ketika Laut Jadi Pelarian dari Luka Batin
Kisah pria ini menambah deretan panjang aksi nekat akibat depresi yang tak tertangani. Dalam diam, banyak orang membawa luka yang tak terlihat, dan laut—sepi, luas, dan tak menghakimi—sering jadi tempat terakhir untuk melepaskan segalanya.
Padahal, dalam banyak kasus, yang dibutuhkan hanyalah satu orang yang mau mendengar.
Keluarga: “Kami Tak Tahu Luka Sedalam Itu”
Pihak keluarga korban mengaku terpukul dan tidak menyangka. Sang pria selama ini dikenal pendiam, jarang bercerita, tapi tak menunjukkan gelagat ekstrem.
“Dia cuma bilang capek, pengen sendiri. Kami pikir itu hal biasa… Tapi ternyata tidak,” ujar adiknya, dengan suara nyaris hilang.
Penutup: Kita Tak Pernah Tahu Badai di Kepala Seseorang
Kejadian ini adalah peringatan bahwa depresi bukan hal sepele. Ia bisa datang diam-diam, mengikis semangat hidup seseorang, dan membawa mereka ke keputusan yang tragis.
Bagi kita yang membaca, mungkin inilah saatnya lebih peka. Kadang, satu pesan sederhana: “Kamu nggak sendirian” bisa menyelamatkan nyawa.
Dan bagi mereka yang sedang bergumul dengan batin sendiri—ingatlah: meminta bantuan bukan tanda lemah, tapi langkah pertama menuju sembuh.